Secara tidak sadar—dan mau tidak mau—ada segelintir generasi karyawan yang menentukan norma dan gaya kerja di sebuah perusahaan. Pergeseran generasi cenderung terjadi, dan energi tersebut juga terasa di dunia kerja.
Bagaimana tidak? Badan Pusat Statistik mencatat, angkatan kerja terbesar berada di kelompok umur 25 – 29 tahun, yakni mencapai 17,18 juta jiwa. Diikuti oleh kelompok umur 30 – 34 tahun sebanyak 16,89 juta jiwa, serta kelompok umur 35 – 39 tahun sebanyak 16,78 juta jiwa. Adapun angkatan kerja yang berusia 60 tahun ke atas mencapai 16,26 juta jiwa.
Saat ini, jumlah angkatan kerja (penduduk usia kerja yang bekerja, atau punya pekerja namun sementara tidak bekerja, dan pengangguran) di Indonesia mencapai 144,01 juta jiwa di Februari 2022. Jumlah tersebut mencapai 69.06% dari total penduduk usia kerja yang berjumlah 208,54 juta jiwa.
Mengesampingkan statistik, profesionalitas dapat diadu. Namun, ada beberapa aspek yang membuat kesenjangan generasi terasa di tempat kerja. Ini terlihat dari cara tiap generasi menyeimbangkan kehidupan personal dan pekerjaan, cara masing-masing bekerja secara efisien, gaya bahasa yang digunakan, bahkan emoji yang dipakai masing-masing generasi ketika bercakap via pesan singkat. (LOL is the new hahaha, or is it?)
Tidak menutup kemungkinan, setiap generasi baru bentrok dengan generasi sebelumnya terkait bagaimana gaya kerja yang ideal. Lantas, bagaimana jika seseorang bekerja di dalam kantor yang multigenerasional?
BEKERJA DI KANTOR MULTIGENERASI
Pertama, seseorang harus menantang stereotipe yang berbahaya. Dari Baby Boomers, ke Generation X, lalu Milenial, dan Generation Z memaparkan sifat-sifat yang bernada sumbang: kolaboratif tapi menolak untuk berubah, mandiri tetapi suram, pekerja keras tetapi ingin di-spesial-kan, progresif tapi tak setia. Generalisasi ini sebagian besar bermasalah. Langkah pertama untuk mengatasi bias usia dan mengembangkan rasa saling menghormati satu sama lain adalah menghilangkan prasangka.
Ketika seseorang menetapkan karakteristik negatif yang menyeluruh kepada suatu kelompok, orang tersebut menyiratkan bahwa nilai, keyakinan, dan tujuan suatu kelompok tersebut cacat. Ada nilai dalam mendidik diri tentang realita yang dihadapi tiap-tiap generasi sepanjang karier mereka. Karena setiap generasi memasuki dunia kerja dalam kondisi tertentu, yang pada akhirnya membentuk tujuan, preferensi, dan pendorong kesuksesan mereka.
Seseorang harus menghindari berasumsi terhadap orang lain berdasarkan usia, sebab ada nilai dalam mendidik diri sendiri tentang realita yang dihadapi tiap generasi sepanjang karier mereka.
Lalu, seseorang harus mengomunikasikan cara bekerja secara terbuka. Lantaran, setiap orang memiliki cara kerja yang bervariasi dan ia tidak bisa mengharapkan agar orang lain mengerti bagaimana dirinya bekerja. Terlebih lagi, apabila orang lain tersebut telah memulai kehidupan profesional pada titik waktu yang berbeda. Meski demikian, tidak ada gaya kerja yang benar atau salah, serta tak ada pula gaya komunikasi yang benar maupun salah. Hal yang terpenting adalah, tunjukkan bahwa seseorang bersedia untuk keluar dari zona nyaman dan berkompromi. Saling mengerti menjadi kunci untuk menemukan jalan tengah yang tidak menghakimi, cobalah menganggap perbedaan sebagai kesempatan belajar.
Misalnya, seseorang dapat beralih antara cara komunikasi tergantung dari tujuan percakapan. Bertukar email untuk pendekatan lebih cepat dan efisien, tetapi bertemu secara langsung dapat menambah kedekatan dan membangun hubungan baik.
Menghormati batasan juga bisa diterapkan. Representasi kelompok usia di dunia kerja yang lebih luas telah memperkenalkan kepercayaan dan nilai baru ke dalam dunia kerja. Topik yang tabu di masa lalu—seperti keberagaman dan inklusivitas, kesehatan mental, peran gender—kian dibahas dalam lingkungan profesional. Perlu adanya diskusi mengenai peraturan bersama yang tepat untuk karyawan di ranah kerja, daripada mengabaikan cara yang selalu dilakukan atau mendukung kesukaan satu kelompok usia di atas yang lain.
Terakhir, jangan pilih kasih. Untuk menciptakan budaya dimana orang dari segala usia dapat rentan dan belajar dari satu sama lain, disarankan bagi para individual di tingkat manajerial untuk menciptakan proses pengambilan keputusan yang inklusif, mendorong dialog terbuka. Selama rapat, upayakan agar semua suara didengar dan dipertimbangkan.
TIDAK SEMUA SEPERTI ITU
Sayangnya, kesenjangan usia antar karyawan bisa menurunkan sikap saling menghormati antar sesamanya. Alih-alih mengabadikan dinamika “kita versus mereka” di tempat kerja, mari ubah narasinya ke depan. Lagipula, keanehan satu generasi bisa saja menjadi new normal. (Gotta learn new slangs and emojis!)
Ketika seseorang tidak dapat relate dengan orang lain karena kesenjangan generasi, seketika dirinya menggunakan stereotipe dan menyalahkan alih-alih berusaha memahami dan menghargai perbedaan yang menjauhkan. Akibatnya, kinerja dan produktivitas terkena dampak negatif.
Milenial, misalnya. Mereka merupakan generasi karyawan yang mulai masuk dunia kerja sekitar krisis finansial di tahun 2008. Mereka merasa beruntung mendapatkan kerja apapun, dan tak heran ketika mereka cenderung “hustling”. Sementara itu, Generation Z memulai karier mereka di tengah pandemi yang telah memutarbalikkan waktu, tempat, dan cara mereka bekerja (lebih memilih untuk work remotely). Kesenjangan antara dua generasi dapat memicu gesekan saat kebanyakan perusahaan justru menyesuaikan cara kerja dengan demografi karyawan Milenial.
Maka dari itu, ada beberapa cara untuk menjembatani kesenjangan generasi. Dimulai dari komunikasi, kerendahan hati, dan rasa ingin tahu yang lebih dalam tentang kekuatan dan keterbatasan teman kerja dan diri sendiri. Pada dasarnya, ini diawali dari menerima bahwa setiap orang di dunia kerja itu berbeda dan masing-masing membawa wawasan yang sama berharganya.
Diakhiri dengan rasa hormat dan pengertian, dan akan berakhir dengan kemajuan.