Pengusaha Bisa Terjangkit “FOMO” Medsos !

Media Sosial

Jika seorang pengusaha tak punya media sosial untuk usahanya, kemungkinan orang tersebut kehilangan momen untuk mengembangkan mereknya. Melalui media sosial, seorang pengusaha dapat menambah pelanggan baru dan mendapat perspektif mendalam dari pelanggan lama. Selain itu, media sosial bisa menjadi cara yang sangat menghemat biaya dan personalisasi untuk menjangkau para pelanggan untuk memberikan wawasan berharga tentang mereknya.

Tapi, media sosial saat ini menjamur. Kadang, kita tak tahu harus mengecek platform mana untuk mengetahui pergerakan tren yang selalu berpindah dari satu hal baru ke hal baru lainnya dengan cepat. Tak hanya Instagram dan Facebook, seseorang juga harus memeriksa Twitter (sekarang namanya X), TikTok, Pinterest, LinkedIn, bahkan Thread. Belum lagi, jika nantinya akan muncul platform baru yang pastinya memicu semua orang berpindah ke sana. Lantas, haruskah seorang pengusaha ikut melompati tren platform media sosial baru, agar tak ketinggalan momen?

RAJIN UPDATE, TAKUT KETINGGALAN MOMEN?

Konsep Fear of Missing Out alias takut kehilangan momen menjelajahi ketakutan akan pengucilan sosial. Melalui media sosial, seseorang memiliki kesadaran akan apa yang terlewati dan sifat ‘sepanjang waktu’ dari komunikasi ini dapat menyebabkan perasaan kesepian dan ketidakcukupan. Ditambah lagi, tiap orang semakin sering membagikan detail kehidupan mereka di dunia maya. Imbasnya, mereka juga berhadapan situasi—secara tidak langsung—saling membandingkan diri sendiri dengan orang lain soal keberhasilan dalam hidup.

FoMO alias takut kehilangan momen biasanya menyangkut dua proses; persepsi ketinggalan momen diikuti dengan perilaku kompulsif untuk menjaga koneksi sosialnya. Aspek sosial dari FoMO didasari oleh kebutuhan untuk berada di suatu komunitas, dan pembentukan hubungan interpersonal yang kuat dan stabil.

Jadi, ketika seseorang terus menerus mengecek media sosialnya dan paling update diantara circle-nya, tidak menutup kemungkinan ia memiliki perilaku takut ketinggalan momen yang juga beririsan dengan penyakit ketergantungan media sosial.

Bagaimana tidak, media sosial sudah menjadi petunjuk pergerakan tren di dunia versi tercepat saat ini. Semua bentuk informasi berada di genggaman tangan, hanya tinggal klik tombol ‘bagikan’ dan semua orang bisa tahu. Tak hanya orang awam yang bisa kena penyakit FoMO ini, justru sebagai salah satu pembentuk pergerakan tren, seorang pengusaha bisa ‘terjangkit’ perilaku takut kehilangan momen dalam bermedia sosial.

PENGUSAHA KENA FOMO? TAK APA!

Biasanya, taktik ‘takut ketinggalan momen’ dipakai sebagai salah strategi menjual barang atau jasa yang efektif. Dalam pemasaran, taktik ini digunakan untuk menunjukkan kepada pelanggan atau pembeli bahwa kelambanan berarti kehilangan momen atas suatu hal yang hebat. Tapi kalau seorang pengusaha menggunakan media sosial, justru ada beberapa aspek bisnis yang bisa dipakai tanpa harus merasa ‘latah’ bermedia sosial.

Media sosial membantu pengusaha menjangkau pelanggan, membangun strategi pemasaran, dan mengenal pelanggan melalui analytics dan konsistensi posting.

Selain itu, media sosial bisa digunakan untuk pelayanan pelanggan (customer service). Melalui komunikasi media sosial, seorang pengusaha bisa mengatasi masalah pelanggan dengan cepat dan efisien, membantu si pengusaha menciptakan basis pelanggan yang setia. Terkadang ada pula pelanggan kesal atau frustrasi meninggalkan komentar publik di akun Instagram/Facebook suatu merek. Pengusaha dapat menunjukkan penghargaan dengan mengirim pesan pribadi, melanjutkan percakapan dan menghargai masukan serta waktu pelanggan.

Media sosial meningkatkan penjualan melalui iklan, social listening, dan pemantauan tren industri untuk meraih target audiens.

TAKUT FOMO, IKUT ATAU TINGGALKAN TREN?

Takut kehilangan momen menjadi pemicu seseorang ikut ‘latah’ mengikuti tren di media sosial. Ketika dunia diperkenalkan media sosial Thread dari Instagram, sejumlah user di dunia maya lekas mendaftarkan diri dan ikut merasakan sensasi menuliskan unek-unek di sana. Padahal, apabila dicermati, Thread memiliki fungsi hampir mirip dengan Twitter. Orang-orang yang berbondong menggunakan Thread—ingin ikut dalam tren—bisa saja masuk dalam kategori FoMO. Namun, istilah ini tak harus berada di dalam sorotan negatif. Asalkan seorang pengusaha bisa mengurus dan membagi tugas di tiap platform untuk mengembangkan usahanya, FoMO ber-medsos justru bisa membawa keuntungan bagi dirinya dan produk/jasa yang ia miliki.

Platform terbaik untuk seorang pengusaha sangat tergantung pada jenis usaha dan tujuan media sosialnya. Facebook memiliki audiens terbesar dan ruang paling banyak untuk menyesuaikan pemasaran media sosial seorang pengusaha. Twitter bisa menjadi tempat terbaik untuk menerima feedback dari pelanggan dan terlibat langsung dengan mereka. Pinterest sangat ideal untuk usaha kecil dan khusus yang bisa memasarkan langsung di situs. YouTube bisa dibilang merupakan platform media sosial terbaik untuk mengarahkan traffic ke situs web lain, seperti laman website perusahaan di mana pelanggan bisa membeli barang atau jasanya. Bahkan Instagram dan Twitter bisa dijadikan ladang portofolio bagi orang-orang untuk menemukan lowongan pekerjaan.

Tak semua platform media sosial dibuat sama. Untuk mengembangkan strategi sosial yang efektif, fokuslah pada saluran media sosial yang paling sesuai dengan platformnya.