Sisi Gelap Pinjaman Online

Pinjaman online alias pinjol memudahkan seseorang untuk mengakses kredit dalam waktu cepat. Namun, pinjol juga membuat orang-orang tak terlindung dari penipuan dan kebiasaan buruk yang mengiringi ketika memamerkan kemewahan. Sayangnya, pengadaan pinjaman online sering kali menjadi tumpuan gaya hidup bagi generasi muda, terutama Milenial dan Gen Z. Hanya dengan mengisi data pribadi, uang seketika cair.

Kebutuhannya pun macam-macam: melunasi utang anggota keluarga—halo, Generasi Sandwich—membeli barang, hingga memesan tiket konser. Bahkan, Bloomberg mengungkapkan bahwa sejumlah kalangan masyarakat beralih ke pinjaman online untuk membeli tiket konser, meski sudah muncul imbauan dari Otoritas Jasa Keuangan yang memperingatkan masyarakat Indonesia untuk menghindari layanan “buy now, pay later” hanya untuk memesan tiket konser. Lantaran, pinjaman negara melalui platform digital mencapai 51,5 triliun rupiah pada Mei 2023, naik 28 persen  dari tahun lalu.

Meski sudah diwanti-wanti agar menghindari godaan pinjaman online, mengapa masih ada yang tergoda akan layanan ini?

BUTUH CEPAT, SOLUSI NEKAT

Semakin menjamurnya aplikasi financial tech (fintech) dan pinjaman online mendemokratisasi proses perbankan, sehingga memudahkan orang-orang yang tidak “bankable” untuk mendapatkan pinjaman. Meskipun demikian, kemajuan ini juga memiliki kelemahan: akses cepat ke uang seperti itu berpotensi mendorong pengeluaran yang lebih sembrono dan condong ke konsumerisme, prospek yang berisiko di negara dengan populasi kaum muda yang besar.

Saat ini, Indonesia memasuki era bonus demografi, di mana penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan dengan usia tidak produktif. Ada 190 juta jiwa penduduk Indonesia yang masuk kategori usia produktif, dari total jumlah penduduk Indonesia (Juni 2022) mencapai 275 juta jiwa. Banyak hal yang bergantung pada kesuksesan dan produktivitas mereka karena diharapkan dapat membangun masa depan bangsa.

Generasi muda Indonesia pun juga berisi generasi sandwich yang rentan tergoda iming-iming pinjaman online, lantaran harus menanggung imbas dari lemahnya literasi keuangan generasi sebelumnya. Sebut saja Susi, wanita berusia 20an tahun yang bekerja di Jakarta. Ia ingin investasi, tetapi tak punya dana dan penghasilannya dipakai untuk membayar utang orang tuanya. Tak hanya berutang ke sanak saudara, Susi juga berutang ke hampir belasan layanan pinjaman online lainnya, legal maupun ilegal. Pada akhirnya, Susi enggan masuk ke kantor lantaran penagih utang kerap mendatangi tempat ia  bekerja. Bahkan, penagih utang tersebut juga meneror teman kerja hingga atasannya. Pada akhirnya, pekerjaannya pun terganggu dan ia harus mengundurkan diri.

Seharusnya, Susi memiliki dua kekuatan dalam menumbuhkan ekonomi: menghasilkan uang dan menghabiskan (spending) uang. Namun, ia hanya bisa menghasilkan melalui bekerja dan mendapatkan gaji dan tak bisa menghabiskan uangnya untuk menabung atau bahkan investasi.

Pinjol kerap melakukan penetrasi pasar ke kalangan generasi muda. Otoritas Jasa Keuangan memaparkan bahwa kemudahan teknologi pinjaman digital membuat pengajuan pinjaman semakin mudah diakses. Apalagi ditambah aplikasi belanja yang terhubung langsung ke layanan fintech yang membuat aktivitas belanja dan berwisata makin mudah, meskipun sebenarnya tidak didukung oleh liabilitas yang layak.

Selain itu, generasi Milenial dan Gen Z berusia produktif. Walaupun memiliki pendapatan yang cukup, namun kebiasaan berutang bisa muncul memiliki gaya hidup yang konsumtif. Tidak hanya itu, sebagian generasi muda belum memiliki literasi keuangan yang baik. Sehingga, mereka cenderung menggunakan produk pinjaman secara tidak bijak.

LITERASI KEUANGAN, DEMI GENERASI KE DEPAN

Satu-satunya masalah di sini bukan hanya kaum muda yang mungkin tergoda untuk menghamburkan uang mereka. Bahkan, saat ini diperkirakan sekitar 90 juta orang di Indonesia masih belum memiliki rekening bang dan tidak memiliki akses ke rekening bank tradisional. Melayani populasi mereka yang tak punya bank ini menjadi prioritas pemerintah. Namun pada saat yang sama, menasihati generasi muda yang paham teknologi dan semakin terpapar risiko pinjaman online juga muncul sebagai kebutuhan penting.

Pemerintah pun melalui Otoritas Jasa Keuangan sudah ‘menasihati’ agar hati-hati terhadap praktik pinjaman online ilegal dengan rumus ‘Camilan’: hanya boleh akses camera, microphone, dan location. Jika meminta akses lain (dari foto hingga kontak) biasanya akses kontak tersebut dipakai untuk meneror kerabat peminjam ketika melakukan penagihan. Tapi ketika banyak sekali potensi untuk spending yang konsumtif di dunia digital berkedok ‘leisure’, generasi muda menjadikan pinjol sebagai solusi spontan demi memuaskan diri dan let the future-self deal with the aftermath. Tak usah bicara menghabiskan uang untuk sesuatu yang konsumtif, pinjol juga menjadi jalan keluar untuk membayar utang alias gali lubang tutup lubang.

Serba salah memang, ketika seorang Susi yang seharusnya bisa spending uang hasil kerja kerasnya, justru harus mendaftarkan diri untuk layanan pinjaman online lantaran gajinya tidak mencukupi membayar utang. Literasi keuangan menjadi kunci dan bisa menghentikan lingkaran negatif ini, karena ketika Susi membayar utang orang tuanya dengan pinjaman online, perubahan justru tak terjadi dan hanya melahirkan generasi sandwich selanjutnya.

Ketika seseorang sudah terlena dengan layanan pinjaman online, harus juga dibarengi dengan rasa tanggung jawab untuk membayar kembali kredit yang dipinjamkan. Walaupun sudah sekali melakukan—kecuali bisa mengendalikan diri—seseorang tak akan bisa berhenti memakai pinjaman online. It’s like a drug.