Serba-Serbi Pajak Kenikmatan

Let’s say someone’s an influencer. Mereka memiliki puluhan juta pengikut di media sosialnya, dan menggunakan platform mereka untuk memasarkan kosmetik berdasarkan brand yang bekerjasama kala itu.

Dari hasil kontrak kerjasama, muncul ketentuan bahwa si influencer harus memasarkan brand kosmetik di media sosialnya dan akan menerima paket alat-alat kosmetik senilai Rp 10 juta dari brand kosmetik tersebut. Nah, ternyata Rp 10 juta yang diterima si influencer menjadi objek pemotongan pajak. Kok bisa?

NAMANYA PAJAK NATURA

Pajak natura alias kenikmatan yang mulai diterapkan Juli 2023 ini, tak hanya berlaku bagi pegawai kantoran tetap, tapi juga diterapkan bagi para artis, influencer, hingga selebgram. Lebih tepatnya, individu yang menerima bayaran dalam bentuk produk di luar nilai kontrak yang diberikan pemberi kerja.

Misalnya, seorang influencer memberikan jasa promosi ke sebuah hotel. Atas jasa promosi berbayar tersebut, si influencer mendapatkan imbalan berbentuk 5 voucher yang bisa dipakai untuk menginap di hotel tersebut selama 5 malam. Atas pemberian kenikmatan dalam bentuk fasilitas penginapan 5 hari itu, dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 bagi peng-endorse dan jadi penghasilan bagi si influencer.

Nah, mengapa barang endorsement dijadikan objek pajak? Kementerian Keuangan memaparkan bahwa barang tersebut merupakan imbalan atau penghasilan terlepas dari berapapun jumlah besaran endorsement-nya.

Sebagai hasil murni penghasilan dalam bentuk hubungan kerja, barang endorse tidak dikecualikan dalam PPh. Namun, barang-barang yang menjadi bagian proses pekerjaan dan tidak menjadi hak milik artis atau influencer tidak dikenakan pajak natura. Misalnya, ketika seorang artis memakai lipstik sebagai bagian dari persiapan make-up di tempat syuting dan alat lipstik tidak dibawa pulang, maka itu tidak dihitung PPh.

Di lain hal, tak semua natura atau kenikmatan yang diterima karyawan dikenakan pajak. Makanan/minuman di tempat kerja dibebaskan dari pajak. Sementara itu, fasilitas terkait standar keamanan, kesehatan, dan keselamatan juga dibebaskan dari pajak.

Tak hanya itu, peralatan dan fasilitas pelayanan kesehatan dan pengobatan dalam penanganan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, kedaruratan, dan pengobatan lanjutan juga terbebas dari pajak. Kemudian, iuran kepada dana pensiun yang ditanggung pemberi kerja bagi pegawai serta fasilitas peribadatan juga tidak terkena pajak.

Sementara itu, nilai maksimal akan dibatasi untuk jenis fasilitas tertentu. Sebagai contoh, tempat tinggal non-komunal, yang digunakan secara pribadi oleh karyawan, dapat dikenakan potongan pajak jika melebihi Rp 2 juta per bulan. Fasilitas tambahan, seperti bingkisan di luar hari raya keagamaan, juga dapat dikenakan potongan pajak jika melebihi Rp 3 juta per tahun. Untuk fasilitas kendaraan yang diberikan kepada karyawan jika karyawan tersebut bukan pemegang saham dan rata-rata penghasilan bruto tidak lebih dari 100jt/bulan.

PAJAK NATURA UNTUK SIAPA?

Dalam regulasinya, pajak natura lebih difokuskan untuk menutup celah penghindaran pajak (tax avoidance) dari wajib pajak berpendapatan tinggi yang selama ini sering menerima fasilitas non-tunai (benefit in kind) eksklusif dengan nilai fantastis, alih-alih demi mendorong penerimaan negara.

Kementerian Keuangan sendiri menilai potensi penerimaan negara dari pajak atas natura tidak akan terlalu besar. Lantaran, batas cakupan pengenaan pajak natura sengaja dibatasi untuk kelompok berpendapatan tinggi dengan fasilitas eksklusif, bukan pegawai kebanyakan. Meskipun demikian, tujuan pemerintah menerapkan pajak natura agar perusahaan tidak ragu meningkatkan kesejahteraan karyawan lewat fasilitas non-tunai, karena pengeluaran perusahaan atas berbagai fasilitas itu kini bisa dibebankan sebagai biaya pengurang pajak bagi perusahaan alias deductible.

Di lain hal, pengenaan pajak atas natura itu juga bisa menutup celah penghindaran pajak karena banyak fasilitas eksklusif yang diterima pegawai kini menjadi objek pajak penghasilan.

PRO-KONTRA PAJAK NATURA

Di sisi lain, pegawai juga bisa menentang lantaran merasa rugi akibat gaji bersihnya terpotong pajak dan berkurang. Ditambah lagi, ada potensi, pegawai biasa yang non-manajerial ikut dipotong pajak karena menerima sejumlah fasilitas yang tidak dikecualikan dari objek PPh 21. Aturan ini memang untuk pegawai bergaji tinggi karena mereka sering menerima fasilitas non-tunai. Tetapi, dalam praktiknya, fasilitas itu juga bisa menyasar ke semua karyawan.

Belum lagi, ada potensi bahwa pajak natura justru mendorong permintaan restitusi pajak (pengembalian atas pembayaran pajak yang berlebih). Dalam PMK Nomor 66/2023, pemerintah mengecualikan pemotongan pajak atas natura yang diterima karyawan sepanjang 2022. Sehingga, wajib pajak hanya perlu membayar dan melaporkan pemotongan pajak atas natura yang diterimanya sepanjang Januari – Juni 2023 didalam SPT Tahunan. Sementara, untuk natura yang diterima sejak Juli 2023, akan otomatis dibayar dan dipotong langsung oleh perusahaan.

Pada dasarnya, pajak atas natura ini mempertegas bahwa penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima/diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan merupakan penghasilan yang menjadi objek Pajak Penghasilan. Pengaturan ini adalah bentuk tanggung jawab pemerintah untuk mewujudkan keadilan horizontal dan vertikal yang menjadi dasar pajak atas natura/kenikmatan.

Keadilan vertikal terbentuk apabila pegawai dengan penghasilan lebih tinggi menanggung beban pajak yang lebih tinggi dibandingkan pegawai dengan penghasilan pajak yang lebih rendah. Sebab, kebijakan pajak atas natura memang tidak bertujuan untuk mengejar penerimaan pajak, tetap membangun sistem perpajakan yang lebih berkeadilan.