Indomie, Eiger, Tolak Angin, Erigo… Siapa yang tak kenal dengan merek-merek ini? Sebelum menjadi merek ternama dan menjadi top-of-mind di industri masing-masing, awalnya mereka merupakan produk lokal dengan sejarah yang sederhana. Dengan strategi tepat dan memanfaatkan kesempatan yang ada, merek-merek ini berhasil melintasi batas negara.
Lantas, bagaimana produk lokal bisa ‘go international’? Haruskah sebuah produk lokal menembus pasar global?
DULU HANYA BISA DIBELI DI INDONESIA
Meskipun perusahaan-perusahaan asal Indonesia ini unggul dalam branding di kancah internasional dan semuanya terlihat mudah, sebenarnya ada banyak upaya yang harus dilakukan untuk menjadi merek yang dikenal di tingkat mancanegara.
Contoh: Indomie. Suara Indomie sebagai produk buatan Indonesia terasa di luar negeri. Sejak Indomie diekspor pertama kali pada 1992, Indofood secara konsisten membangun merek dengan mengembangkan ekspor produk mie instan ini ke berbagai negara. Indofood membangun Direktorat Ekspor yang aktif mempelajari semua izin impor di tiap negara, kemudian menetapkan target negara yang saat itu merupakan negara dengan jumlah tenaga kerja Indonesia paling banyak. Maka dari itu, Indomie populer di Hong Kong, Taiwan, Arab Saudi, dan lainnya. Tak hanya TKI, Indomie juga digiring oleh para pelajar Indonesia di luar negeri, sehingga mie instan ini juga terkenal di negara-negara layaknya Amerika Serikat dan Australia.
Indomie membuktikan bahwa membangun merek itu esensial. Bahkan, jika merek tersebut populer, maka nilainya bisa mencapai 100 kali lebih dari equity perusahaan.
Contoh lainnya, Wardah. Wardah berhasil meraih kesuksesan dengan menemukan segmen konsumennya, serta berinteraksi dengan konsumen dalam segmen tersebut. Tak hanya memenuhi kebutuhan muslimah atas produk make-up dan perawatan kulit yang disesuaikan dengan jenis kulit konsumen lokal, namun produk keluaran Wardah juga memenuhi standar halal yang menjadi faktor penting bagi segmen konsumennya. Selain itu, Wardah menyuarakan posisi untuk produknya melalui kemasan dan memasarkan di pesantren atau toko kecantikan tradisional. Ditambah lagi, ‘beauty advisor’ Wardah mengedukasi tentang cara menggunakan produknya dan menjelaskan bagaimana produk tersebut diformulasikan menggunakan metode halal. Kini, Wardah sudah membuka pasarnya di negara-negara mayoritas penduduk muslim seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dll dengan menggunakan distribusi lokal negara tersebut.
Selain Indomie dan Wardah, ada pula Eiger. Merek asal Indonesia yang menjual peralatan outdoor ini menekankan bahwa produk mereka akan kuat ketika dekat dengan konsumen, sehingga mereka tahu apa yang benar-benar dibutuhkan pelanggannya. Untuk mencapai ini, Eiger membina hubungan dengan komunitas pecinta aktivitas outdoor seperti Mapala, Wanadri, dan komunitas lainnya. Dari sisi merek, langkah ini memusatkan Eiger berada di atas dari segi pasar aksesori outdoor dan petualangan.
Perjalanan Wardah dan Eiger membawa produknya menjadi merek global tak terlepas dari seberapa fleksibelnya mereka di tingkat lokal. Merek konsumen lokal menciptakan produk yang sangat bertarget dan bisa didistribusikan secara lokal. Perusahaan kecil menggunakan jaring riset kecil dan mendapatkan insight langsung mengenai kelompok konsumen tertentu. Mereka juga dengan cepat menggunakan informasi tanpa filter untuk mengembangkan dan menyempurnakan produk yang sangat relevan. Mereka pun tak perlu cap kualitas yang didapat dari dukungan perusahaan global yang sudah lama berdiri, karena konsumen sendiri membangun kepercayaan merek secara real-time melalui ulasan mereka dan membangun ruang kompetitif baru dari rekomendasi mulut ke mulut.
JAGO KANDANG DAN BERGAUNG DI MANCANEGARA
Indonesia bisa menghasilkan banyak merek bertaraf internasional. Merek lokal berpotensi sukses di pasar internasional setelah membangun citra merek yang kuat dalam negeri. Lantaran, Indonesia memiliki populasi besar dengan angka kelas menengah yang terus meningkat, diikuti pula dengan gaya hidup konsumtif, serta kesadaran yang kian tumbuh akan penggunaan produk buatan dalam negeri. Tak hanya Indomie, Wardah, ataupun Eiger, ada pula merek lokal yang sudah ‘go international’ seperti Kopiko, Paper One, The Exexutive, J.Co, Polygon, dan Tolak Angin.
Berekspansi ke pasar internasional merupakan upaya yang menarik, namun memerlukan lebih dari sekadar antusiasme. Agar berhasil, seorang pengusaha memerlukan pemahaman mendalam tentang audiens targetnya dan selera lokal mereka yang unik. Misalkan, Eiger yang kini telah membuka toko di Interlaken, Swiss. Untuk membuka toko di Swiss, Eiger melihat kondisi pasar dimulai dari standar teknologi produk, persyaratan akan sustainability yang ternyata detil, iklim Interlaken yang bisa mencapai minum 30 derajat celcius, serta karakteristik dan aktivitas masyarakat serta turis di Interlaken. Karakteristik Swiss yang sangat menekankan sustainability mendorong Eiger untuk menyesuaikan bahan kimia dalam produknya agar melindungi konsumennya. Eiger juga memasarkan produk yang sesuai dengan pasar di Swiss yakni seri hiking dan tidak ada seri riding.
Selain itu, strategi merek internasional yang terdefinisi dengan baik merupakan bagian penting dari keberhasilan ekspansi global. Bisa dimulai dengan mendefinisikan nilai-nilai merek produk dan memahami bagaimana nilai-nilai tersebut selaras dengan pendekatan internasional. Kemudian, pastikan bahwa hal tersebut sesuai dengan konteks budaya yang beragam di mana si pengusaha akan terlibat. Ketika menciptakan identitas merek yang konsisten, maka kepercayaan konsumen global akan tumbuh. Namun, untuk mencapai ini, si pengusaha harus menekankan kemampuan beradaptasi dan fleksibilitas sambil mempertahankan pesan yang kuat.
Contohnya, Kopiko. Permen kopi tersebut digemari hingga ke Amerika Serikat lantaran kualitas kopinya yang konsisten di pasar lokal maupun global. Bahkan, Kopiko menjadi salah satu cemilan yang kerap dibawa oleh para astronot NASA. Sebab, permen ini cocok dikonsumsi pada kondisi grafitasi nol di luar angkasa, membantu para astronot menikmati kopi tanpa perlu menyeduhnya.
BERANI TEMBUS PASAR GLOBAL
Memang memulai sebuah usaha tak semudah membalik telapak tangan, tantangan yang dihadapi bisa mematahkan semangat seseorang. Hampir semua pemilik produk ternama pun juga mengalami kemunduran: Pemilik Eiger, Ronny Lukito sempat kesulitan menjual produknya ke toko retail Matahari dan warehouse pemilik Wardah, Nurhayati Subakat sempat terbakar dan ia pun merugi. Namun, dari kesulitan yang dialami, mereka bisa menembus pasar lokal dan global. Karena tak hanya bermodal konsistensi mempertahankan karakter produk mereka, tetapi mereka juga berani beranjak dari ‘zona nyaman’ keberhasilan di Indonesia dan mencoba untuk menancapkan diri di mata dunia.