Indonesia Bangun Silicon Valley, Mungkinkah?

Acap kali kita mendengar cerita sukses di ranah teknologi: Mark Zuckerberg yang berhasil merintis Facebook; Bill Gates dengan Microsoft-nya; Jeff Bezos dan situs Amazon; hingga Steve Jobs yang membangun Apple dari garasi rumahnya. Mereka semua mendobrak dunia teknologi dengan inovasi yang out-of-the-box, dan semua “lahir” dari satu tempat: Silicon Valley.

Lembah ini tumbuh dari jaringan kecil produsen teknologi menjadi kantor pusat perusahaan teknologi raksasa dunia. Tak hanya menjadi rumah bagi Apple, Amazon, Microsoft, dan Facebook (sekarang jadi Meta), tetapi juga mempelopori berbagai perusahaan rintisan seperti Google, Intel, hingga Netflix, dan Twitter.

Well, imbas kesuksesan Silicon Valley di Amerika Serikat, setiap negara berbondong-bondong ingin membuat Silicon Valley versi mereka sendiri. Begitu pun Indonesia, yang berencana membangun kawasan perusahaan teknologi demi mempercepat pertumbuhannya. Kini, digitalisasi ekonomi di Indonesia sudah melahirkan sejumlah unicorn start-up: Gojek, Tokopedia, Xendit, Kopi Kenangan, hingga Kredivo, dan Akulaku. Sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara, bisakah Indonesia meniru Silicon Valley?

LEMBAH TEKNOLOGI DARI BARAT

Menilik sejarahnya, Silicon Valley adalah nama panggilan dari sebuah daerah di ujung selatan San Francisco Bay, yakni Santa Clara Valley. Kawasan ini awalnya merupakan pusat industri chip silikon—dengan Fairchild Semiconductor di Mountain View sebagai pusatnya—beserta ratusan perusahaan pesaing lainnya. Ketika industri dan ekonomi tumbuh berdampingan dengan harga perumahan, wilayah ekonomi Silicon Valley mulai berkembang.

Perlu dicatat, bahwa kemitraan dan interaksi antara industri serta akademisi di Silicon Valley sudah terpola dengan baik. Karena salah satu penunjangnya, Universitas Stanford merupakan benih yang menjadi Silicon Valley. Awalnya, lulusan teknik Stanford, Cyril Elwell membentuk perusahaan “teknologi tinggi” di Palo Alto. Perusahaan Telegrafi Federal mengembangkan transmisi radio jarak jauh pertama yang andal, dengan dukungan finansial dari Universitas Stanford. Terbentuknya perusahaan ini menetapkan model standar untuk start-up masa depan di tempat yang menjadi cikal bakal Silicon Valley.

Pada 2019, valuasi Silicon Valley sempat mencapai 3 triliun dolar AS atau setara dengan Rp 42,32 kuadriliun. Namun pada 2023, jatuhnya Silicon Valley Bank–yang berfokus memberikan kredit pada perusahaan start-up di Amerika Serikat—perlahan menempatkan para perusahaan rintisan bidang teknologi terombang-ambing.

IMITASI SILICON VALLEY MENJAMUR DI INDONESIA

Seluruh dunia mencoba meniru kesuksesan Silicon Valley. Mulai dari New York (Silicon Alley), London (Silicon Roundabout), Hong Kong (Silicon Harbour), hingga Moskwa (Skolkovo).

Sementara di Indonesia, muncul rencana membangun kawasan perusahaan teknologi layaknya Silicon Valley, dengan nama seperti Bukit Algoritma di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Mengaku sebagai tiruan Silicon Valley di Amerika Serikat, Bukit Algoritma digadang menjadi salah satu pusat pengembangan inovasi dan teknologi tahap lanjut, seperti kecerdasan buatan, robotik, pesawat nirawak, hingga panel surya.

Selain Bukit Algoritma, ada pula beberapa daerah lain yang mengklaim sebagai ‘the Next Silicon Valley di Indonesia’ yakni Correctio di Cikarang, Bekasi. PT Jababeka berniat mengembangkan kawasan koridor Jakarta-Bandung menjadi ‘Silicon Valley made in Indonesia’, sebagai solusi bagi industri manufaktur di sekitar kawasan industri di Cikarang. Di tahap awal, sudah dibangun pusat inovasi di President University.

Digital Hub BSD City di Tangerang Selatan, disebut punya lingkungan senada dengan Silicon Valley di Amerika Serikat. Pengembangan kawasan ini diperuntukkan untuk institusi pendidikan yang bergerak di bidang teknologi informasi, sains, industri kreatif (film & game developer).

Pembangunan pusat industri digital juga menjalar ke Batam, yaitu melalui Kawasan Ekonomi Khusus Nongsa yang juga mengklaim sebagai ‘Silicon Valley Indonesia’. Tak hanya melambungkan industri teknologi informasi tetapi Nongsa Digital Park juga mendorong sektor pariwisata.

KEBERAGAMAN MELAHIRKAN INOVASI

Pada tahun 1990, Michael Porter, professor di Harvard Business School, mengusulkan metode baru untuk menciptakan pusat inovasi regional. Rumusnya sama: pilih industri yang populer, bangun pusat penelitian di dekat universitas, lalu promosikan industri yang dipilih, dan kumpulkan investor.

Memang terlihat seperti rencana yang matang dalam teori. Namun harus disadari, bahwa keberhasilan Silicon Valley bukan hanya di ranah akademis, industri, atau pendanaan. Sifat khusus yang membedakan Silicon Valley dengan yang lain adalah kemampuan untuk mengintegrasikan strategi inovasi mereka dengan strategi bisnis mereka.

Barry Jaruzelsky dalam bukunya The Culture of Innovation: What Makes San Francisco Bay Area Companies Different?, mengemukakan bahwa perusahaan-perusahaan di Silicon Valley rata-rata empat kali lebih mungkin menyelaraskan strategi bisnis mereka dengan budaya inovasi, dibandingkan rata-rata perusahaan Amerika Serikat lainnya. Paduan antara inovasi dan bisnis ini ada karena Silicon Valley dibangun dengan pola pikir budaya yang tepat dan sumber daya yang tersedia, demi pemberdayaan inovasi dan menciptakan bisnis baru.

Dalam kata lain, Silicon Valley adalah ekosistem di mana bagian-bagian yang berbeda justru saling menopang dan memperkuat satu sama lain, demi menciptakan “mesin inovasi”. Ekosistem itu mendukung persaingan, pemikiran baru, dan keunggulan. Nah, ekosistem ini berjalan ketika ditopang oleh kluster individu yang datang dari latar belakang beragam dan bisa bekerjasama dengan mudah. Karena sebetulnya, inti dari Silicon Valley bukanlah lokasinya, melainkan interaksi antar orang-orang di mana semuanya berkumpul untuk membangun produk mereka.

Meskipun demikian, perlu waktu puluhan tahun bagi Silicon Valley untuk berada di posisi sekarang, tak mungkin dibangun dalam sehari. Ini berlaku pula bagi setiap lokasi ‘duplikat’ Silicon Valley di Indonesia. Terlepas dari hal tersebut, Indonesia mampu mengejar dan berhasil membuat Silicon Valley versi sendiri ketika sumber daya manusianya terdorong untuk terus berkreasi bersama dengan individu beragam lainnya. Dengan begitu, mereka bisa membangun produk di lembah manapun.